PENTINGNYA MEMELIHARA KESEHATAN REPRODUKSI


PENTINGNYA MEMELIHARA KESEHATAN REPRODUKSI

Masalah kesehatan reproduksi yang dialami oleh para remaja saat ini, tentunya menjadi refleksi bersama kita. Ternyata begitu banyak “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan. Oleh karenanya, kita harus mengupayakan semaksimal mungkin untuk menyampaikan informasi yang benar tentang ksesehatan reproduksi. Mempelajari Kesehatan reproduksi bukan sekedar dianggap “sunah”, namun ia menjadi sesuatu yang “wajib” untuk dipelajari karena hal ini terkait tugas reproduksi manusia untuk meneruskan fungsi kekhalifahannya di muka bumi. Dengan demikian,  kesehatan reproduksi perlu dijaga dan diperhatikan agar sistem reproduksi yang telah dilimpahkan Tuhan tidak mengalami kerusakan.

Mengapa Kesehatan Reproduksi Remaja itu Sangat Penting ?
Masa remaja merupakan periode kritis dalam proses pembangunan  reproduksi manusia. Pada masa usia ini, remaja mulai tertarik pada urusan- urusan reproduksi, mengeksploitasi sensasi-sensasi yang mereka rasakan, mengenal makna hubungan seksual dan masa perkembangan seksualitas, sehingga dibutuhkan sebuah manajemen pengelolaan diri baik fisik, psikologis, dan intelektualitas. Ketika para remaja harus berjuang mengenali apa yang mereka alami  pada perubahan fisik, psikis sosial akibat puberitas, masyarakat justru berupaya dengan kuat menyembunyikan segala hal tentang seks dan kespro, sehingga meninggalkan berjuta tanda tanya di benak kaum remaja.

Apalagi di kalangan  para santri yang ruang lingkupnya hanya berorientasi untuk mempelajari agama. Ini membuat mereka menganggap bahwa hal seperti itu tidak terlalu penting untuk dibahas, karena masalah-masalah  kewanitaan yang mereka alami dianggap sesuatu yang wajar dan pasti dialami oleh remaja lainnya. Selain itu mereka beranggapan jika mereka menceritakannya pada orang lain, secara otomatis mereka membocorkan kekurangan (aib) yang ada pada diri mereka Padahal jika stigma itu tetap dipelihara dalam pikiran mereka, maka secara pelan-pelan permasalahan terkait alat-alat reproduksi  mereka akan semakin memburuk.

Bukankah kita tahu bahwa dalam Islam telah diajarkan sedemikian rupa? Aturan tentang menjaga kesehatan reproduksi telah termuat dalam Alqur’an, hadis dan ijma’ para ulama. Ditambah pula, bahwa Islam membawa misi “Tibyanan likulli sya’in wahudan  wa rahmatan lil muslimin” (kebaikan untuk segala hal dan rahmat bagi kaum muslim), dan juga mengemban misi utama yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia, salah satunya adalah melindungi hak kesehatan reproduksi khususnya reproduksi perempuan.

Jika kita kaji lebih dalam, pandangan seks dan kespro tidak hanya dianggap tabu oleh masyarakat, tetapi juga oleh para tenaga pendidik  yang bertugas mengajar para siswa di sekolah formal. Mereka hanya sekilas memberikan materi tentang kespro dan alat-alat reproduksi. Itu pun tidak secara detail, karena mereka juga berpandangan sama dengan mereka yang menganggap hal itu tak layak untuk diajarkan. Mungkin juga karena minimnya pengetahuan yang dimiliki oleh para guru, sehingga membuat remaja  enggan untuk berdiskusi dengan mereka. Lebih memprihatinkan lagi manakala mereka merasa malu dan tidak nyaman bila harus membahas dengan keluarga mereka sendiri. Padahal kita tahu bahwa pemberian informasi tentang kespro tidak serta merta memberikan pula kesempatan untuk melakukan free sex. Pengalaman menunjukkan di banyak negara yang telah memberlakukan pendidikan kespro, yang terjadi bukanlah promiskuitas atau seks bebas di kalangan remaja seperti yang selalu dikhawatirkan, tetapi sebaliknya justru menunda keaktifan seksual.

Menurut Dr. Kartono Muhammad, masalah kesehatan reproduksi remaja di Indonesia kurang mendapat perhatian yang cukup, ada beberapa kemungkinan hal tersebut bisa terjadi :

  1. Banyak kalangan remaja yang berpendapat bahwa masalah kesehatan reproduksi, sama halnya dengan masalah kesehatan lainnya, semata-mata menjadi urusan kalangan medis, sementara pemahaman dan pengetahuan terhadap kespro di kalangan medis juga tergolong minim.
  2. Banyak remaja beranggapan bahwa masalah kespro hanyalah masalah kesehatan sebatas sekitar proses kehamilan dan melahirkan sehingga bukan dianggap masalah kaum remaja. Apalagi jika pengertian remaja adalah sebatas mereka yang belum menikah. Di sini sering terjadi ketidak- konsistenan di antara para pakar. Sebab,  di satu sisi mereka menggunakan istilah remaja dengan batasan usia, tetapi di sisi lain dalam pembicaraan selanjutnya mereka hanya membatasi pada mereka yang belum menikah
  3. Banyak yang masih menabukan untuk membahas masalah kesehatan reproduksi karena membahas masalah tersebut juga akan berarti membahas masalah hubungan seks dan pendidian seks.


Untuk itu kita harus menumbuhkan kesadaran pada semua pihak untuk mengatasi masalah seperti ini. Mulai dari diri kita sendiri, masyarakat maupun pemerintah. Berbagai cara dan upaya pasti perlu dipikir dan direalisasikan oleh semua pihak untuk menangani masalah seperti ini. Tentu dibutuhkan kemauan yang kuat untuk menuju kehidupan yang lebih baik, terutama dalam hal perlindungan mengenai kesehatan reproduksi perempuan. Berbagai persoalan ini tak dapat didiamkan dan mesti diatasi.

Penulis bersyukur, memiliki kesempatan bertemu Rahima yang telah membuka mata kalangan remaja dan santri mengenai pentingnya persoalan kespro ini. Adanya pelatihan tentang kespro pada kalangan santri untuk menjadi pendidik sebaya di pesantren, mendapatkan resep yang sangat luar biasa di kalangan santri. Kini, secara perlahan-lahan mereka mulai berani menceritakan masalah kesehatan reproduksi yang dialami. Ada banyak pengalaman dan pengetahuan baru yang cukup memberi pencerahan di kalangan sesama maupun para santri, terutama kaum santriwati. Mudah-mudahan,  kami bersama Rahima akan terus ber-istiqamah  untuk memberdayakan perempuan dari kaum tak berdaya untuk menjadi empowered woman. Sebuah tatanan kehidupan yang lebih baik yang berdasar pada prinsip “rahmatan lil’alamin” semoga kan segera tercipta.







PENTINGNYA MEMELIHARA KESEHATAN REPRODUKSI DALAM ISLAM

Kesehatan reproduksi menjadi masalah yang harus mendapat perhatian besar baik oleh remaja, orang tua, guru, pembuat kebijakan, juga masyarakat secara umum. Yang dimaksud dengan kesehatan reproduksi bukan semata-mata seseorang terbebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksinya, tetapi juga suatu keadaan sehat yang sempurna baik secara fisik, mental, dan sosial dalam segala aspek yang dilakukan seseorang yang berkaitan dengan proses berketurunan. Kesehatan reproduksi dapat dibahas dari perspektif medis, psikologis, budaya, dan agama. Tulisan ini akan fokus membahas masalah ini dari sudut pandang agama. Penjelasan dari perspekstif ini sudah sangat mendesak, menimbang masyarakat Indonesia mayoritas muslim dan jelas haus akan pemahaman hukum Islam. Penerapan hukum Islam pasti akan menerangi masyarakat, karena Islam adalah cahaya bagi masyarakat, sedangkan pelanggaran terhadapnya pasti akan menyebabkan kegelapan, kesesatan, dan keterpurukan. Banyak rumah tangga yang hidup dalam kegelapan, remaja melangkah tanpa bimbingan, dan masyarakat terjangkiti oleh kekejian dan problem sosial karena anggota-anggotanya menjauhi aturan Islam seputar kesehatan reproduksi.

Kesehatan Reproduksi, Konsep Akil-Balig, Dan Istilah Remaja

Islam sangat mementingkan masalah kesehatan reproduksi. Di dalam Islam, ada konsep akil-balig. Kita semua tentu tahu apa artinya akil-balig. Yaitu, agar seseorang dianggap memiliki kompetensi untuk menanggung kewajiban keagamaan dari Allah SWT, maka ia harus berakal sehat dan sudah tidak anak-anak. Orang gila tidak menanggung beban kewajiban agama, bahkan untuk menyembuhkan akalnya sekalipun. Anak-anak yang belum balig juga tidak mengemban tugas keagamaan apa pun. Akil-balig tidak dapat dipisah-pisahkan. Tanda seseorang sudah tidak anak-anak di antaranya adalah kematangan alat-alat reproduksinya. Tanda seseorang berakal sehat adalah ia mengetahui apa konsekwensi dari kata-kata yang diucapkannya. Tapi, untuk beberapa hukum, akil-balig saja tidak cukup, tapi harus ditambah dengan ar-rusyd al-’aqli (kematangan mental).

Contoh dalam masalah perkawinan. Pemuda atau pemudi boleh menikah sesudah mereka mencapai level kematangan mental. Bagi sang pemuda, ia harus mengerti apa makna relasi suami-istri, apa konsekuensi kata-kata “ya” yang ia ucapkan dalam akad nikah, apa tugas dan tanggung jawab yang menjadi implikasi kata-kata “ya” tersebut yang harus ia pikul dan tunaikan. Begitu juga bagi sang pemudi. Tidak cukup baginya mencapai usia dapat berketurunan. Apakah sekadar mengatakan “ya” untuk pernikahan dapat membuatnya mampu menciptakan suasana kekeluargaan? Tidak. Ia harus memenuhi syarat lain, yaitu kesehatan atau kematangan mental. Ia harus paham apa yang harus ia kerjakan, menyadari tugas dan tanggung jawab yang dipikulkan di pundaknya setelah ia mengatakan “ya”. Konsep inilah yang dijadikan argumentasi oleh Zakiah Derajat yang mengatakan bahwa agama Islam tidak mengenalkan istilah remaja. Dia mengatakan, “Istilah remaja tidak ada dalam Islam. Yang ada adalah istilah pemuda. … Tampaknya masa remaja, yang mengantarai masa kanak-kanak dan dewasa tidak terdapat dalam Islam. Dalam Islam seorang manusia jika sudah akil-balig, telah bertanggung jawab atas setiap perbuatannya. Jika ia berbuat baik, akan mendapat pahala, dan bila melakukan perbuatan buruk, ia akan berdosa.”

Ruqayyah Waris Maqsud mengemukakan pandangan senada, bahkan lebih keras. Ia mengatakan, “Aku cenderung menduga bahwa istilah remaja adalah penemuan para pembuat iklan. Karena, menurut yang kuketahui dari ajaran Islam, kita adalah seorang anak atau bukan sama sekali. Kamu adalah seorang dewasa atau bukan sama sekali. Kamu tidak pernah berada di antara keduanya.”

Kesehatan Reproduksi Pra Dan Pasca Pernikahan Dalam Pandangan Islam

Setiap orang yang terlahir sudah tersemat padanya kewajiban untuk menjaga kelestarian umat manusia melalui proses reproduksi. Penciptaan manusia secara berpasang-pasangan (laki-laki dan perempuan) dalam sebuah kesatuan adalah pintu bagi terus berputarnya proses ini. Karena Allah SWT Maha Bijaksana dan Maha Penyayang terhadap manusia, maka jika Dia menetapkan sebuah kewajiban, Dia juga menetapkan pedoman-pedoman dalam pelaksanaan kewajiban itu. Pedoman ini dapat dipastika mampu mencegah terjadinya kekacauan di dalam komunitas manusia. Aturan dasar dalam proses reproduksi adalah proses ini sah di mata Allah SWT hanya jika berada di dalam sistem pernikahan antara sepasang manusia. Oleh karena itu, wajar jika di dalam al-Quran dan hadits, banyak sekali nash yang menerangkan masalah pernikahan, baik yang berkaitan dengan segala aspek yang terjadi sebelum pernikahan, maupun hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan rumah tangga. Wajar juga jika para ahli fiqih mengkhususkan pembahasan masalah ini dalam klasifikasi tersendiri, yaitu fiqih munakahat (fiqih seputar pernikahan) di samping fiqih ibadah, fiqih muamalah (fikih sosial-ekonomi), dan fiqih siyasah (fiqih politik).

Islam menetapkan pernikahan sebagai pedoman bagi aktivitas reproduksi yang sehat karena lewat pernikahan manusia dapat menyalurkan naluri seksualnya dan dapat menyambung keturunan. Aktivitas seksual di luar pernikahan banyak sekali bentuknya dan semuanya dilarang oleh Islam, yaitu masturbasi, homo seksual, seks bebas yang meliputi perzinaan dan perselingkuhan. Di samping itu masih banyak lagi bentuk penyimpangan aktivitas seksual yang dilarang oleh Islam seperti:

  1. Sadisme, yaitu memperoleh kepuasan seksual dengan menyiksa partnernya baik secara fisik maupun psikologis.
  2. Masochisme, yaitu memperoleh kepuasan seksual dengan cara disiksa terlebih dulu oleh partnernya baik secara fisik maupun psikologis.
  3. Exhibitionisme, yaitu memperoleh kepuasan seksual dengan memperlihatkan alat kelamin kepada orang lain yang tidak ingin melihatnya.
  4. Scoptiphilia, yaitu memperoleh kepuasan seksual dengan melihat alat kelamin orang lain.
  5. Voyeurisme, yaitu memperoleh kepuasan seksual dengan cara melihat orang telanjang yang biasanya dikerjakan secara diam-diam, alias mengintip.
  6. Transvestisme, yaitu memperoleh kepuasan seksual dengan memakai pakaian dari jenis kelamin yang berbeda.

Perhatian Islam terhadap kesehatan reproduksi ini sangat besar, sehingga kadang-kadang salah dipahami oleh penganutnya sendiri dan disebut oleh mereka sebagai berlebih-lebihan. Naudzubillah min dzalik. Banyak orang lupa atau pura-pura lupa bahwa aturan-aturan yang ada di dalam agama ini selalu mengarah kepada tercapainya kehidupan manusia baik laki-laki maupun perempuan, secara personal maupun sosial, yang sehat secara jasmani dan rohani. Misalnya, Islam melarang perempuan dan laki-laki berdua-duaan di tempat yang sepi, kecuali ada mahrom. Larangan ini merupakan tindakan pencegahan dari perbuatan lain yang sangat terlarang. Kita tidak dapat menutup mata bahwa perhatian masyarakat dan orang tua terhadap masalah ini kian hari kian longgar, bahkan mengarah pada sikap permisif (serba membolehkan). Pergaulan pemuda-pemudi semakin bebas, sehingga dampak yang ditimbulkannya juga semakin luas, seperti kehamilan yang tidak dikehendaki, aborsi, munculnya berbagai penyakit kelamin, bahkan HIV/AIDS. Islam justru menganjurkan kepada pemuda dan pemudi yang sudah menginginkan dan sudah siap untuk menikah, agar segera menikah. Pernikahan adalah cara sehat dan bertanggung jawab dalam mewujudkan cinta dan kasih antara laki-laki dan perempuan. Bahkan, ia adalah separoh jalan untuk meraih kesempurnaan beragama.

Lebih dari itu, untuk menjamin terwujudnya kesehatan reproduksi, Islam tidak cuma menetapkan aturan fiqih, melaikan juga aturan akhlak. Ada sebuah surah yang sangat penting untuk dibaca dan dipahami berkaitan dengan tema aturan-aturan akhlak Islam untuk mewujudkan kesehatan reproduksi ini, yaitu surah an-Nur. Surah ini diturunkan dalam konteks fitnah dan tuduhan zina yang dilontarkan oleh orang-orang munafik kepada salah seorang istri Nabi Muhammad saw, lalu Allah SWT membebaskan istri Nabi itu dibebaskan dari tuduhan tersebut. Poin-poin etika yang penting dari surah ini adalah:

  1. Berprasangka baik kepada diri sendiri. Maksudnya, jika orang munafik melontarkan gosip kepada seorang mukmin, maka kita harus berprasangka pada saudara kita sesama mukmin itu sama dengan prasangka kita kepada diri kita sendiri. Jika kita menusuk atau berprasangka jelek kepada kehormatan orang lain, maka itu sama dengan menusuk dan berprasangka jelek kepada kehormatan diri sendiri; dan jika kita membela serta beranggapan baik pada kehormatan orang lain, maka itu sama dengan membela dan beranggapan baik pada kehormatan diri sendiri.
  2. Berhati-hati terhadap nama baik orang lain. Seorang mukmin tidak boleh menyinggung nama baik orang lain, khususnya wanita. Tidak boleh menerima bisikan setan seputar kesucian mereka. Tidak boleh ikut menyebarkan gosip dan skandal yang diberitakan koran atau televisi, sehingga berburuk sangka pada orang lain secara zalim dan terjatuh pada dosa besar, yaitu menyematkan kekejian kepada wanita yang menjaga kesuciannya.
  3. Tidak menjadikan kesucian wanita sebagai bahan gurauan. Mengusik kehormatan wanita baik dengan kata-kata, isyarat, atau gerakan, walaupun dengan anggapan sekadar bercanda dan tanpa maksud menyakiti sama sekali, juga dilarang oleh agama.
  4. Tata krama di dalam rumah dan di dalam masyarakat. Seperti membiasakan anak kecil meminta izin ketika masuk ke kamar tidur orang tua, tidak menemui wanita yang sedang sendirian di rumahnya, menahan pandangan dari lawan jenis, menikahkan pemuda dan pemudi, melarang pelacuran, melarang penyebaran kekejian seperti berita-berita nista serta pornografi dan pornoaksi seperti yang banyak disuguhkan oleh acara-acara televisi pada khususnya dan media massa pada umumnya.

Masih banyak lagi aturan fiqih dan akhlak yang digariskan oleh Islam seputar kesehatan reproduksi, etika sosial, urusan rumah tangga, tatacara menjaga etika hubungan antar individu, dan tatacara membersihkan masyarakat dari kerusakan dan kekejian.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bank Soal UN dan Kunci Jawabannya

Latihan Soal US Bahasa Indonesia 2020

Latihan Soal UN 2020