Tugas Teks Rumpang
……………………
Dilana tak dapat menyembunyikan perasaan gembiranya.
Ia melompat-lompat, berteriak-teriak, berlari keliling kampung, menyalami
teman-temannya, mencium habis-habisan istrinya, dan memeluk erat sanak
saudaranya. Berita teve yang mengumumkan bahwa Dilana dari kampung Bale Bitung itu adalah pemenang
pertama kuis “iseng-iseng berhadiah” dan berhak mendapat hadiah utama, yakni
uang tunai dua ratus juta rupiah membuat geger seisi kampung. Wah! Dahsyat! Dilana jadi orang kaya mendadak! Segeralah seisi
kampung berteriak-teriak pula atas keberuntungan Dilana . Setidaknya inilah keberuntungan Dilana selamanya hidupnya. Orang-orang di kampung
Bale Bitung akhirnya sangat percaya pada
keberuntungan sebuah kuis yang selama ini mereka anggap hanya sebagai permainan
untuk promosi saja.
Kemudian orang-orang saling bertanya dan bersiap untuk meniru Dilana . Mereka jadi bersemangat untuk
mengirimkan beberapa lembar kartu pos berisi jawaban kuis dengan harapan bisa
seberuntung Dilana . Begitulah,
orang-orang di kampung menjadi sangat sibuk, seperti sibuknya Dilana menderetkan sejumlah rencana.
Beberapa hari kemudian, Dilana mendapat surat
undangan dari penyelenggara kuis, yang isinya: mengundang Sdr. Dilana untuk hadir pada acara serah terima hadiah
utama secara langsung di Hotel Indonesia
Jakarta .
Tentunya ini kegembiraan yang amat sangat, sekaligus kegugupan yang amat sangat
pula. Bagaimana tidak? Dia belum pernah sekalipun pergi ke hotel. Masuk rumah
orang kaya yang besar-besar di sekitar perumahan mewah di dekat kampungnya itu
pun baru halamannya saja. Apalagi harus masuk hotel? Gimana nih? Tapi,
tenanglah Dilana tidak akan berangkat sendirian. Dia akan
ditemani istrinya tercinta, Ati, dan kepala desanya, Pak Satoni. Dengan begitu
, Dilana tidak akan merasa keder dan terlihat udik.
Sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan dalam undangan yang diterima, berangkatlah Dilana ke Jakarta ,
diiringi perasaan suka cita seisi kampungnya. Maklumlah di kampung, berita
sangat mudah menyebar. Dilana yang selama ini pengangguran, malas, dan
paling suka tidur itu, akan menjadi juragan yang paling dihormati. Dan
istrinya, Ati, yang selama ini bersusah payah jualan gorengan untuk menghidupi
keluarganya, akan menjadi istri terhormat, dihiasi pakaian yang indah dan
perhiasan yang megah. Anak satu-satunya, tak lagi ikut Abah Kanta menarik
delman atau ikut Mang Dulah memandikan kerbau-kerbaunya di sungai. Si Gendil
itu pastilah akan sekolah lagi, dan kalau perlu akan dikirimkan untuk sekolah
di kota . Uang
dua ratus juta bukan jumlah yang sedikit untuk ukuran warga kampung, bahkan
untuk membayangkannya akan sedikit kebingungan. Setinggi apa tunpukan uang dua
ratus juta itu?
***
Di Jakarta, Dilana , Ati,
Pak Satoni disambut meriah. Malah di-shoot
langsung oleh beberapa stasiun teve dan diburu para wartawan media cetak. Dilana tak bisa menghilangkan kegugupannya ketika
dipanggil ke podium untuk menerima amplop yang berisi cek senilai dua ratus
juta. Tangannya gemetar ketika Pak Direktur yang gagah itu menyalaminya. Dilana sangat senang, dia tersenyum-senyum, meskipun
agak sedikit berkerut dahi, “Kok, dua ratus juta tipis begini?” bisiknya. Tapi,
bisikan itu tak sempat terdengar oleh Pak Direktur karena lampu blitz kamera segera menyala-nyala dan
serangkaian pertanyaan wartawan segera menyerang Dilana . Dilana makin gugup harus menjawab pertanyaan yang
mana dulu karena pertanyaan-pertanyaan itu makin bertubi-tubi. Sebagian tak
dipahami Dilana dan dia hanya menjawab seperlunya, sebatas
yang dimengerti dirinya.
Beberapa saat kemudian suasana sudah mulai reda. Para wartawan itu sudah kembali ke tempatnya dan acara
segera dilanjutkan dengan beberapa hiburan. Dilana , Ati, dan Pak Satoni sangat menikmati
suguhan hiburan itu. Tapi kemudian, Dilana berbisik kepada Pak Satoni untuk menanyakan
perihal amplopnya yang tipis itu.
“Pak, dua ratus juta kok tipis, ya?” tangan Dilana meraba-raba amplop itu dengan tangannya yang
kasar. Wajahnya penuh kepolosan dan kerut-kerut ketidakmengertian.
“Ha…ha… ha…” Pak Satoni merasa geli dengan pertanyaan Dilana . “Coba kamu buka amplopnya!”
Tanpa terpengaruh sikap Pak Satoni, Dilana segera membuka amplopnya, kemudian
mengeluarkan secarik kertas yang tak bisa dimengerti Dilana .
“Ini apa, Pak? Ini mah bukan uang atuh!” Dilana sedikit kecewa.
“Dasar kurang sekolahan, ini cek. Dilana ! Nanti kertas ini ditukarkan ke bank.
Nih, nih, nama banknya!”
“Ditukarkan dengan apa?”
“Ya dengan uang dua ratus juta itu, Dilana !”
“Oh…!”
“Nanti setelah pulang dari sini, kita cairkan cek itu. Baiknya
kita minta bantuan Pak Direktur untuk saja mencairkannya supaya aman!”
“Oh, ya…ya…!” Dilana tetap bingung.
***
Kedatangan
Dilana , Ati, dan Pak Satoni sangatlah
ditunggu-tunggu oleh sanak saudara dan orang-orang di kampung Bale Bitung.
Tentulah penyambutannya telah dipersiapkan. Tempatnya di Balai Desa Bale
Bitung. Dan ketika Dilana beserta rombongan tiba, orang-orang berkumpul
berdesakan ingin melihat Dilana sebagai orang kaya mendadak, dan terutama
ingin mencicipi jamuan makannya.
Kemudian
dengan percaya diri, Dilana berbicara.
“Bapak-bapak,
Ibu-ibu, dan semua yang hadir disini, saya mengucapkan banyak terima kasih atas
sambutan yang meriah ini,” Dilana berbicara layaknya seorang pejabat. “Walau
bagaimanapun hal ini adalah karunia Tuhan yang dilimpahkan kepada saya dan
keluarga, dan satu hal yang ingin saya haturkan, yakni ucapan syukur alhamdulillah. Sebagai perwujudan rasa
syukur itu, saya sekeluarga bermaksud mengadakan acara kenduri. Untuk itu, saya
mengundang seluruh warga desa agar berkenan hadir pada acara itu!” Dilana menutup pembicaraan dengan ucapan salam yang
disusul dengan riuhnya tepuk tangan orang-orang. Aneh jugam, dari mana Dilana dapat berbicara selancar dan setertib itu?
Apakah memang uang dapat mengubah segalanya dengan tiba-tiba?
Beberapa
hari kemudian, sesuai dengan apa yang dikatakan Dilana di Balai Desa waktu itu, orang-orang sibuk
membantu Dilana mempersiapkan acara kenduri besar-besaran itu.
Acara kenduri ini diadakan sebagai ucapan rasa syukur pada Yang Maha Pemberi
Rizki. Jumlah yang dianggarkan untuk kenduri ini tidak tanggung-tanggung, empat
puluh juta! Wah, jumlah yang cukup besar untuk ukuran acara kenduri di kampung Dilana . Dari anggaran itu dibelikan empat
ekor kerbau, sepuluh ekor kambing, dan seratus ekor ayam. Tidak lupa pula
mempersiapkan hiburan kesenian di kampung Dilana dan pagelaran wayang golek semalam suntuk.
Kalau
dipikir-pikir, uang Dilana yang dua ratus juta itu sangat cukup untuk
membeli tanah seluas kampungnya. Berapa sih tanah di kampung? Tapi Dilana orangnya tidak serakah. Meskipun asalnya orang
miskin, tapi tetap dia selalu ingin berbagi dengan yang lain. Biasanya orang
miskin yang kaya mendadak akan berubah seratus delapan puluh derajat sifatnya,
lebih serakah, dan pelit. Tapi Dilana tidak demikian. Uang empat puluh juta itu
memang telah dianggarkan untuk pesta kenduri. Mengenai permintaan kepala desa
agar Dilana menginfakkan sebagian uangnya untuk mendirikan
masjid pastilah ia kabulkan.
Begitu pula ketika Ati, istrinya itu, tiba-tiba merengek minta dibelikan kalung, cincin, teve, vcd, mesin cuci, rice cooker, kompor gas, sofa, dan sedikit aksesoris rumah, seperti yang selalu ia lihat di film-film telenovela atau sinetron. Maklumlah, sekarang Ati menjadi sangat manja pada Dilana . Dan Dilana , uh, tidak bisa menolak permintaan istri tersayang. Karena Dilana pun tidak mau permintaannya untuk… ditolak Ati. Baiklah, sebelum membeli semua perabotan itu, Dilana berencana memugar terlebih dahulu rumahnya yang mulai reyot. Menurutnya, tidaklah pantas memiliki semua perabotan itu kalau rumahnya tidak bagus. Untuk itu perlu penyesuaian agar terlihat serasi dan sedap dipandang mata.
Mengenai acara kenduri yang besar-besaran itu, selama ini belum pernah terjadi di kampung Dilana . Pesta ini lebih besar dari pesta hajatan perkawinan atau sunatan massal. Tak seorang pun yang tak kebagian kenikmatan pesta itu. Dilana betul-betul telah menjadi raja. Orang-orang di sekelilingnya menjadi sangat baik. Tiba-tiba saja mereka bersedia disuruh apa saja oleh Dilana . Namun, Dilana sangat menyadari bahwa kesediaan orang-orang itu bukan tanpa pamrih. Setidaknya mereka ingin selalu menikmati apa saja yang dinikmati Dilana sekeluarga.
***
Suatu
pagi di teras rumahnya yang mewah.
“Mang Dulah, bagaimana dengan kerbau-kerbau kita, juga
sawah-sawah di sebelah utara itu?” tanya Dilana kepada Mang Dulah yang sekarang menjadi
pekerja sekaligus orang kepercayaan Dilana mengenai pengurusan tanah.
“Tenang Juragan, kerbau-kerbaunya kian hari kian gemuk. Juga
beberapa dari mereka telah beranak pinak. Menurut hitungan Mamang, kerbaunya
telah bertambah sepuluh ekor. Dan mengenai sawah, alhamdulillah, bulan depan sudah bisa di panen!”
“Ha…ha…bagus, bagus!” Dilana bergoyang-goyang di kursi antiknya dengan
cangklong di mulutnya. “Sekarang pembangunan masjid itu sudah beres? Ayo,
jangan disendat-sendat, bereskan segera. Kasihan masyarakat di sini sangat membutuhkan
masjid itu. Anggarannya sudah cukup, kan ?”
Dilana berlagak pejabat, gaya bicara pun berubah.
“Kalau Mamang lihat, sudah hampir selesai, Juragan. Kata si
Samsu, laden tembok Mang Sujai, tinggal masang keramik dan ngecet dindingnya. Tapi kalau Juragan Dilana berkenan untuk melihat ke sana langsung, akan lebih baik, Juragan.
Sekaligus mengontrol hasil kerja mereka.”
“Hmm, ya, ya, besok antar saya ke sana , ya, Mang!”
“Baik, Juragan!”
“Terus ini, Mang, saya ini berencana ingin beli kebun. Ya…jangan
terlalu luaslah. Saya ingin tanam
cengkeh dan buah-buahan. Untuk anak cucu, he… he…. Ya, itung-itung investasi!”
“Bagus, Juragan. Kebetulan kebun Pak Sutan akan dijual, katanya
sih Pak Sutan butuh biaya buat pernikahan anaknya. Tanahnya juga bagus, subur,
daerahnya juga aman dan sangat strategis karena masih dapat dijangkau dengan
kendaraan.”
“Begitu, ya. Tolong, Mang Dulah hubungi Pak Sutan, tanyakan
berapa dia mau jual kebun itu!”
“Dengan senang hati, Juragan!”
“Maksudnya?”
“Eh, nggak, nggak apa-apa, Juragan.”
“Ya, kalau begitu, cepatlah!”
“Sekarang, Juragan?”
Dilana mengangguk sebagai isyarat perintah, kemudian
dia menggoyangkan kembali kursinya. Kepulan asap dari cerutu tembakau nomor
satu itu memenuhi udara. Sedangkan Mang Dulah telah berlalu. Direguknya kopi
susu yang masih hangat. Nikmat betul jadi
orang kaya, pikirnya. Senyum selalu membayang dari wajahnya.
Dilana pun mulai berpikir lagi tentang tanah, sawah,
kebun, kerbau, dan yang satu ini…tentang istri muda. Biasa kan , wajar, kebutuhan hidupnya pasti akan
terpenuhi. Namun, dengan segera Dilana memupus pikiran kotor itu dengan mengusap
wajahnya sambil istighfar. “Saya tak mau serakus itu, saya harus ingat ketika
masih miskin, sering dibantu orang lain. Sekarang saya yang harus membantu
orang lain. Membantu menghadapi rintangan hidup yang selalu membuat kita tak
berdaya, lemah…” hatinya berkata-kata.
Semua orang pasti tak akan menyangka bahwa Dilana mempunyai pikiran dan niat seputih itu. Niat
yang selalu terpendam dalam benak hatinya yang paling dalam. Sebab, selama
sebelum Dilana kaya, siapa yang peduli dengan kehadiran Dilana ?
Lanjutkan!!!!!!!
***
Hallo bapa ^.^
BalasHapus